Minggu ke 4,
kurang 4 hari. Bosen di rumah
Kuliah onlie
, ya terlhat mudah dilakukan, hanya tinggal menyalakan laptop sambil rebahan
pun bisa dilakukan. Tak perlu mandi, menghemat bedak dan liptistik sudah jadi.
Siap mengikuti perkuliahan pagi ini.
Karena keadaan
Indonesia kini, dimna Covid-19 semakin meramba tak tertahankan dan pemerintah
menggerakkan gerakan social distancing untuk memutus rantai penyebaran virus
yang tak punya hati itu. Dan Jadilah pembelajaran online yang memuakkan itu
diterapkan dimana - mana.
Bagaimana
virus bisa punya hati, punya otak aja kaga. Kalo punya pun, masti mikir - mikir
untuk bunuh kita - kita karena ada Hak Asasi Manusia yang akan melindungi
segenap umat manusia. Hebat sekali yang merumuskan Hak Asasi Manusia itu.
Namun, sayang, penerapannya masih belum sempurna dan belum meramba disetiap
umat manusia.
Kembali lagi.
Bukannya taksetuju
dengan keputusan pemerintah yang meliburkan sekolah - sekolah, dan melaksanakan
pembelaran online untuk menghambat penyebaran virus covid-19 itu. Tapi jika
sistem pembelajaran online yang tidak memadahi juga percuma saja. Tidak adanya
ketentuan atau batas - batasan sehingga mewujudkan pembelajaran online yang semaksimal mungkin untuk dilakukan. Harapannya
sih pastinya juga menghasilkan output yang sama seperti pembelajaran normal
sehari - hari, sebelum corona menyerang.
Aku rasa
kuliah online menimbulkan dampak yang tidak bisa dibilang buruk dan juga baik.
Mungkin lebih tepatnya tidak berpengaruh sama sekali terhadap pelajar.
Tak adanya
regulasi dan ketentuan, membuat para akademisi pengajar menjadi seenaknya dalam
pembelajaran online. Ada yang masih berusaha mempertahankan untuk bisa bertatap
muka, memberi materi lewat vidio call, bahkan ada yang hanya memberi banyak
tugas yang tak berperi kemanusiaan.
Namun banyak
juga yang tidak brtanggung jawab, pengajar hanya memberi tugas dan tugas tanpa
dibahas. Apalagi belum tugas dari mata pelajaran lain. Rasa - rasanya pelajar
bukan terkapar karena Covid-19, malah terkapar karena tugas. Katanya siapa lupa
kalo gak salah pak mentri sih, tugas itu jangan banyak - banyak, yang penting
itu bahasannya. Kalo engggak ada bahasannya juga percuma. Tapi banyak tugas
juga lebih bagus, tapi jangan lupa pembahasannya juga.
Namun
faktanya, pembelajaran online yang hanya memberi tugas, jarang sekali ada
pembahasannya. Hanya dikumpulkan, bahkan aku ragu pengajar mau mengoreksi satu
persatu.
Dari kejadian
itu, iya mereka mengerjakan, tapi percayalah mereka akan semakin tertekan,
melakukan segala cara termasuk hanya copy paste jawaban di internet. Pikiran
mereka akan hanya ada ‘yang penting tugas selesai,’ bukan untuk mempelajari
pelajaran selayaknya di sekolah dikarena dikejar tugas lain dan waktu.
AKu yakin,
karena aku juga melakukan hal yang sama meng-copy paste jawaban atau rangkuman
dari internet untuk melengkapi tugas. Apalagi yang lebih parah itu, sudah kelas
online 2 jam, dikasih juga 2 tugas. Belum lagi tugas yang lain. Dan ya jadi
semakin copy paste tanpa baca di internet. Wkwkwkw…
Dan mengingat
juga, masyarakat indonesia bukan masyarakat menengah ke atas. Namun separuh
bahkan 3/4 masyarakat indonesia adalah masyarakat menengah ke bawah. Kelas
online itu mengeluarkan banyak dana. Sudah membayar SPP, beli juga kuota yang
tidak bisa dibilang sedikit karena banyak yang menggunakan vidiocall bersama.
Kita harus mendownload satu - satu wajah mereka. Coba jika di kelas ada 40
anak, kita harus download wajah mereka satu - satu. Berapa kuota yang akan
termakan?
Apalagi
pembelajarannya tidak maksimal sama sekali. Percuma rasanya kelas online
seperti ini, semua pelajar mengikuti hanya ingin mendapatkan nilai sempurna
tanpa diikuti ilmu. Terkadang juga pengajarnya lupa kalau hari itu ada kelas.
Tapi apalagi
caranya? Aku rasa kelas online lebih baik dilakukan dari pada tidak dilakukan.
Daripada menganggur hanya rebahan di rumah. Lebih baik ada kerjaan yang
positif, meski enggak sempurna - sempurna amat, dari pada enggak ada sama
sekali.
Dan lebih
baik ada untuk mengingat kita ini masih seorang pelajar, berkewajiban untuk
belajar, enggak rebahan mulu, scrolling instagram dan melakukan hal yang enggak
produktif sama sekali saat Quarantine time.
Aku bukan
menyalahkan pemerintah, memang kondisi kita seperti ini, jadi wajar saja. Aku
memaklumi. Namanya juga musibah yang mendadak, tak ada persiapan bahkan tak ada
pengalaman untuk menerapkan sistem kelas online.
Jadi terima
aja lah, harapannya sih kalo ini emang jangka panjang, mohon perlahan
diperbaiki regulasi ato ketentuan untuk pelaksanaan pembelajaran online. Biar
ada perubahan lebih baik. Aku hanya takut jika stagnan seperti ini, dengan
ketidakberdayaan kita menjadikan hal - hal ini semakin percuma, aku takut
berdampak buruk pada para penerus bangsa indonesia.
Atau para
pengajar suruh aja buat vidio, biar sekalian dijelasin. Biar kita enggak cuma
membayangkan aja apa yang pengajar katakan lewat vidio call. KArena percayalah
bu guru dan bapak guru, membayangkan pelajaran itu sulit sekali.
Dan sekali
lagi, terima kasih sih sama Pak Mentri Nadiem kita, aku lihat sih banyak
komentar - komentar dari pak nadiem untuk pada pengajar, yang membantu kita
para pelajar yang melakukan pembelajaran online. Dan harapannya juga dosen -
dosen, guru - guru, dan pihak sekolah peka terhadap kesulitan kita. Apalagi
menyangkut kuota, yang tidak setiap anak bisa membeli atau mempunyai wifi di
rumah untuk menunjang pembelajaran online.
Untuk setiap
elemen, hanya ingin mengungkapkan apa yang menjadi masalah kita sebagai sebagian pelaku
atas situasi kini.